Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Salman Aristo
Pemain: Ramon J. Tungka, Marcel Chandrawinata, Vino G. Bastian
Produksi: Rexinema
Sudah mulai jengkelkah kita dengan film-film remaja di televisi? Remaja cantik versus remaja jahat dengan cerita dan persoalan di luar akal sehat?
Alhamdulillah, sutradara Hanung Bramantyo (memulai debutnya dengan film
Brownies) dan penulis skenario Salman Aristo tidak masuk dalam kategori
sineas klise yang ingin asal bikin film. Jadi, jangan kaget dan silakan
terkesiap ketika muncul adegan awal yang orisinal--untuk ukuran sinema
Indonesia--dan dahsyat itu. Kamera yang dipegang Tommy Jepang pada awal
adegan awal berlangsung tanpa jeda, tanpa cut, selama delapan menit yang
panjang. Rekaman itu memperkenalkan kehidupan anak-anak SMU Fajar
Harapan yang kita kenal sebagai sebuah keseharian di lorong-lorong
sekolah, di lapangan basket, di toilet, di dalam kelas, di luar kelas,
di ruang pemutaran film, atau di kantin.
Adalah tiga lelaki SMA atau kelompok A3 yang "cupu" (culun punya = ini
istilah masa kini untuk para pecundang). Mereka terdiri dari Agni (Ramon
J. Tungka), kepala geng berkacamata, keras kepala, dan penuh teori;
Alde (Marcel Chandrawinata, pemain baru dengan penampilan bersinar),
sosok yang paling ganteng tapi pemalu dan anggota band di sekolahnya;
dan Arian (Vino Bastian), yang meledak-ledak (setiap ledakan ditunjukkan
dengan akting yang sama: sepasang tangan yang sibuk dengan suara yang
nyaring), setia kawan, dan menggampangkan persoalan.
Untuk menggebrak "sejarah" dan menghancurkan citra "cupu", ketiga
pecundang ini bersepakat membuat sebuah film dokumenter tentang
kehidupan sekolah mereka: bagian gelap dan bagian penuh cahaya. Rekaman
tentang mereka yang hidup dari menyontek dan mereka yang "tidak pernah
menyontek seumur hidup". Atau rekaman anak masjid yang memulai
kalimatnya dengan kutipan ayat Quran hingga membuat ketiga anak ini
buru-buru salat karena ingin menjauhkan diri dari api neraka.
Rekaman tentang mereka yang kabur dari kelas dan klepas-klepus merokok
di belakang sekolah; mereka yang OD (overdosis) narkoba; tentang seorang
kekasih sialan yang kasar bernama Ray (Christian Sugiono) yang menampar
pacarnya yang jelita dan ringkih, Alina (Joanna Alexandra). Tetapi
dokumenter ini juga merekam mereka yang memberikan cahaya pada
pendidikan, seperti guru-guru yang mengajar karena memang percaya bahwa
setitik kontribusi dalam kelas adalah fondasi pada karakter anak-anak.
Ide cerita yang lahir dari Salman Aristo yang, menurut pengakuannya,
"diawali oleh rasa sebal yang luar biasa saat menonton tayangan remaja
di televisi" adalah sebuah upaya dokumentasi yang menjungkirbalikkan
semua tayangan sinetron remaja di televisi. Artinya, film ini "melawan"
stereotip sinetron, yang selalu menunjukkan tokoh anak-anak SMA yang
baik (cantik atau ganteng) versus yang jahat (cantik, jahat, judes, dan
penuh muslihat di luar akal sehat) yang lantas diwarnai dengan satu
sosok nerd yang berkacamata tebal, yang hanya dirubung siswa pada saat
ulangan, atau satu sosok gendut atau bencong yang fungsinya untuk
ditertawakan penonton.
Film Catatan Akhir Sekolah adalah bentuk yang mendekati realitas
anak-anak sekolah masa kini, justru karena para sineasnya tak harus
memajang wajah-wajah ganteng dan kemewahan yang tak masuk di akal. Wajah
1.000 figuran anak sekolah yang "cuma" figuran itu tampil berkeringat,
bau angkot dan metromini, diselingi shot-shot toilet jorok SMA atau
upaya masturbasi seorang siswa lelaki yang mengintip rok siswi di
kelasnya, yang tampak begitu nyata dan tidak dipulas kosmetik apa pun.
Jika sosok Pak Boris (Joshua Pandelaki yang tampil komikal) disajikan
sebagai tokoh antagonis--kepala sekolah genit, korup, dan
diskriminatif--tentu saja karena sutradara Hanung Bramantyo dan penulis
Salman Aristo pada akhirnya membutuhkan contoh karakter amoral yang
harus diberi ganjaran. Pembuktian? Bukankah tiga anak ini tengah membuat
film dokumenter? Anda bisa menebak, akhir film ini kemudian jadi banyak
keinginan seperti penyakit film Hollywood dan film Indonesia yang
kepingin betul penontonnya merasa "plong".
Film dokumenter yang bagus banget itu disajikan dalam pesta akhir tahun
sekolah. Ini termasuk tingkah polah Pak Boris dengan duit yang
menghebohkan khalayak penonton. Seiring keramaian pesta itu, persoalan
cinta kelompok A3 itu sekaligus "diselesaikan"; murid korban narkoba itu
tampak "kembali ke jalan yang benar"; murid sialan yang beraninya
gampar cewek itu cemberut melihat tayangan dirinya; dan seterusnya.
Oh ya, dan malam itu juga Pak Boris yang korup dikerubungi guru dan
satpam, entah mau dibawa ke mana, mungkin ke polisi, mungkin ke
"pengadilan internal". Pokoknya, dia diganjar! Lucu. Hanung dan Salman
toh ingat, dalam realitas, koruptor dan penjahat di Indonesia jarang
bisa diganjar justru karena kita hidup di negara yang paling korup di
dunia. Artinya, dalam hidup nyata, sosok Boris akan tetap hidup dengan
jaya. Kelompok A3 itu malah biasanya akan dicerca.
Akhir film yang kontradiktif dari seluruh realitas yang dibangun sejak
awal mungkin memperlihatkan: sineas Indonesia memang masih belajar.
Tidak apa-apa. Ini tetap film yang bagus, yang orisinal, layak tonton,
dan layak dicatat sebagai salah satu film Indonesia yang berani melawan
kedunguan televisi.
sumber :
http://yuangaknekoneko.blogspot.co.id/2010/08/resensi-film-favorit-catatan-akhir.html